Transformasi Partai Politik, Sebuah Usulan Kepada Presiden Prabowo Subianto Dan DPR

By Admin


nusakini.com, Aspek paling fundamental dalam sistem demokrasi yakni peran partai politik sebagai penjaga kepentingan publik. Namun dalam praktiknya banyak partai politik lebih fokus pada kepentingan elit atau kelompok tertentu daripada melayani kebutuhan masyarakat luas.

Pada acara peringatan Ulang Tahun Partai Golkar, Presiden Prabowo Subianto mengutarakan perlunya evaluasi dalam sistem pemilu dan pilkada kita yang berbiaya mahal dan rentan konflik. Banyak pihak yang sepakat namun tak sedikit pula yang menolak. Saya sendiri berpendapat memang perlu segera dilakukan langkah yang lebih substansial untuk memastikan partai politik benar-benar mengutamakan kepentingan publik. Bagi saya evaluasi sistem pemilu itu hendaknya diawali dengan melakukan transformasi partai politik. 

Revisi UU Pemilu dan UU Parpol 

Revisi UU pemilu dan UU partai politik harus lebih komprehensif, bukan hanya terkait presidential threshold tetapi harus memastikan sistem politik yang lebih inklusif dan akuntabel. Fokus pada peningkatan representasi dan penguatan fungsi partai sebagai kanal aspirasi rakyat, bukan sekadar alat kekuasaan. Dengan kata lain reorientasi fungsi partai politik dari "Mesin Kekuasaan" ke "Pelayan Publik", partai politik tidak hanya sebagai alat untuk mengusung kandidat atau memenangkan pemilu, lebih dari itu adalah menyerap, mengawal, dan memperjuangkan kepentingan rakyat. 

UU Lembaga Kepresidenan 

Undang-Undang ini sangat penting dibuat untuk mengatur mekanisme dan akuntabilitas kepresidenan, terutama dalam sistem presidensial di Indonesia. Mekanisme "umpan balik" dari masyarakat, seperti evaluasi kinerja pembangunan yang diukur secara transparan. Sebagai contoh, penilaian dampak ekonomi yang buruk tanpa faktor eksternal. Penilaian kualitas pelayanan publik dan penegakan hukum dan lain lain.

Mekanisme Umpan Balik yang Legal 

Demokrasi sejati seharusnya lebih dari sekadar partisipasi pemilu. Perlu dibuat UU khusus tentang feedback mechanism, dengan tujuan: mengatur evaluasi berkala terhadap kebijakan publik oleh lembaga independen, menghubungkan kinerja pemerintah dengan keterlibatan masyarakat (public deliberation), memberikan sanksi bagi koalisi/ pemerintah yang gagal mencapai target kinerja tertentu, tanpa harus memicu instabilitas politik. 

Indikator Demokrasi yang Beragam 

Demokrasi bukan hanya soal ramai-ramai di TPS, tapi juga hasilnya (outcome). Penegakan hukum yang adil dan mekanisme reward-punishment bagi aparat adalah indikator utama. Partisipasi dalam pemilu yang rendah di negara maju justru mencerminkan kepercayaan pada sistem yang berjalan baik.

Keseimbangan antara Partai dan Rakyat 

Dalam sistem saat ini, partai sering terlalu dominan, sementara rakyat hanya menjadi alat mobilisasi. Perlu revisi regulasi yang lebih menekankan aspek kinerja, akuntabilitas, dan keterlibatan rakyat secara nyata, tidak hanya fokus pada partai politik. Aspirasi rakyat harus menjadi dasar kebijakan, bukan sekadar formalitas. 

Kekeliruan dalam Power Sharing 

Masalah yang sering diabaikan dalam demokrasi di Indonesia adalah pemisahan kekuasaan (division of power) dan dampak buruk dari mekanisme pembagian kekuasaan (power sharing). Power sharing di Indonesia lebih sering dilihat sebagai kompromi politik untuk menghindari konflik, tetapi sebenarnya menciptakan masalah baru. Blok politik yang berkuasa cenderung mengkooptasi semua lembaga negara sehingga hubungan antar-lembaga menjadi homogen, bahkan subordinatif.

Ketika semua partai bergabung dengan pemenang pemilu, tidak ada lagi mekanisme "check and balance" yang efektif. Hal ini berbahaya karena lembaga legislatif dan yudikatif seharusnya independen dari eksekutif, bukan menjadi bagian dari koalisi kekuasaan. 

Kebutuhan Aturan Hubungan Kerja Antar-Lembaga Negara 

Demokratisasi sejati membutuhkan aturan yang jelas tentang hubungan kerja antar-lembaga tinggi negara. Eksekutif, harus ada pembatasan kekuasaan agar tidak ada peluang mengintervensi lembaga legislatif dan yudikatif. Legislatif, perlu diberi kewenangan yang lebih tegas untuk mengawasi pemerintah, tanpa ketergantungan pada koalisi. Yudikatif,  harus benar-benar independen, tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan politik atau partai yang berkuasa. 

Bahaya Partai Negara 

Ketika semua partai bergabung dengan pemenang pemilu, kita sebenarnya sedang menuju ke arah sistem "partai negara" yang terselubung. Dalam sistem ini, tidak ada oposisi yang kritis untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Kepentingan rakyat menjadi nomor dua, karena kekuasaan terpusat pada satu kelompok. Demokrasi menjadi formalitas, tanpa substansi. 

Solusi untuk Menghindari Homogenisasi Kekuasaan 

Regulasi pembatasan jumlah partai koalisi agar tidak semua partai bergabung dengan pemerintahan. Perlu ada aturan tegas bahwa partai oposisi harus tetap ada sebagai mekanisme pengawasan. Penguatan Oposisi, dapat dilakukan dengan memberikan insentif kepada partai oposisi, misalnya akses lebih besar untuk menyampaikan aspirasi rakyat di parlemen. Reformasi sistem pemilu, desain sistem pemilu harus memungkinkan partai kecil tetap memiliki kekuatan di parlemen. Transparansi dalam pengambilan keputusan, semua keputusan lembaga tinggi negara harus terbuka untuk publik guna menghindari monopoli kekuasaan. 

Dampak Pemilu yang Selalu Menjadi Perebutan Kekuasaan Tunggal 

Pemilu seharusnya menjadi sarana memperkuat pluralitas politik, bukan alat  legitimasi untuk membentuk koalisi besar. Partisipasi rakyat akan menurun jika mereka melihat hasil pemilu tidak menghasilkan perbedaan signifikan dalam pengelolaan negara. 

Pemisahan kekuasaan adalah inti demokrasi yang perlu ditegaskan melalui aturan hubungan antar-lembaga negara. Tanpa pemisahan kekuasaan yang jelas, Indonesia rentan jatuh ke dalam sistem de facto partai negara, di mana demokrasi hanya menjadi hiasan. Reformasi regulasi dan penguatan oposisi adalah langkah awal untuk memulihkan demokrasi substansial di Indonesia. 

Pembentukan partai politik bukan sekadar alat untuk memenangkan pemilu atau mengusung kandidat, tetapi harus menjadi penyambung kepentingan publik dalam  proses demokrasi. Melalui reformasi yang berfokus pada akuntabilitas, transparansi, dan pelayanan kepada masyarakat, partai dapat menjadi pilar demokrasi substantif, bukan hanya formalitas prosedural. 

Jakarta, Minggu 5 Januari 2024 

KULDIP SINGH

Aktivis Pijar 98

Senator ProD em